Deodato dan Jazz Brasil yang Menjelajah


JAZZ adalah permainan musik yang memberi banyak kemungkinan dan penjelajahan. Dan inilah yang ditawarkan dalam penampilan rancak musisi jazz terkenal asal Brasil Deodato pada hari kedua International Java Jazz Festival, Sabtu Malam (5/3) di Plenary Hall Jakarta Convention Centre (JCC).

Penjelahan ini tampak dalam sejumlah nomor yang ia mainkan dengan skill musikal para personal yang di atas rata-rata. Dari mulai Brazillian Jazz, pop, bossa nova, jazz-rock, funk, hingga olahan jazz yang merupakan score musik film seperti film seri Hunter. Dan semua warna jazz itu ditampilkan dengan teknik permainan dan naluri improvisasi yang liat dan bening.

Penjelajahan musisi yang tersohor dengan adaptasinya atas lagu “Also Sprach Zarahustra” pada tahun 1972 ini ini hadir dengan melodi-melodi yang manis dan lincah dalam permainan organnya. Kelincahan yang sama juga ditunjukkan dengan skill permainan personel pendukungnya. Dengus trombon yang sesekali mendesah panjang, atau permainan atraktif melodi brush yang mencengangkan. Seperti Jimmy Hendrix ia memamerkan kebolehannya dalam mengolah penjelajahan melodi yang cepat dengan berbagai posisi. Dari mulai melodi yang terangkat di belakang pundak, hingga petikan yang menggunakan gigi. Dalam membawakan nomor terkenal kelompok Led Zeppelin Black Dog, misalnya, jerit dan kocokan melodi menjadi ruh dari yang melapisi karakter bunyi trombon dan saksofon.

Tak kalah atraktifnya juga adalah permainan konga. Ketukan dan pukulannya tak hanya menjadi latar dari seluruh permainan, tapi juga hadir dengan karakternya sendiri. Aplaus penonton berkali-kali diberikan untuk atraksi yang energik ini.

Secara keseluruhan olahan musik Deodato tak bergeser dari warnanya yang telah lama dikenal oleh publik jazz Indonesia. Namun dalam penampilannya yang pertama di Indonesia malam itu ia memberikan suguhan yang mungkin berbeda, terutama dalam performance para pendukungnya. Juga tak kalah adalah olahan video proyektor yang ditembakkan ke latar belakang pentas dengan visual yang imajinatif.

Kemeriahan di Plenary Hall terus berlangsung. Apalagi, setelah Deodato, ditampilkan pula grup legendaris Earth Wind & Fire Experience. Buktinya, beberapa saat setelah Deodato turun panggung, antrean panjang pada dua pintu masuk Plenary Hall kembali terjadi. Ruangan besar itu kembali dipadati pengunjung, meski harus membayar karcis tambahan Rp 90.000,00 per orang.

Tak rugi penonton menyaksikan Earth Wind & Fire, tadi malam. Mereka tetap mampu mempertahankan karakter nada-nada yang selama ini memang telah dikenal sekaligus disukai khalayak. Apalagi, formasi grup tersebut tak berubah. Al McKay (gitar), Mike Shapiro (drum), Bruce Conti (gitar), Michael Harris (terompet), Joey DeLeon (perkusi), Hussain Jiffry (bas), Ben Dowling (keyboard), Ed Wynne (saksofon), Wendell Kelly (trombon), Bryan Loren (keyboard), serta jajaran vokalis yang terdiri dari Tim Owens, Claude Woods, dan DeVere Duckett.

Tadi malam, Earth Wind & Fire benar-benar tampil groovy sekaligus funky. Semua repertoar disuguhkan dalam bentuk medley dengan menggunakan “alur” yang terus menanjak. Tercatat, hanya sekali mereka menurunkan grafik suasana, yakni ketika mereka membawakan lagu “After The Love is Gone”.

Selain itu, penonton terus saja diajak untuk memunculkan apresiasi dalam gerakan. Itulah sepertinya yang diidamkan penonton. Suasana semakin memuncak karena hampir semua lagu yang dibawakan dikenal penonton, seperti “Saturday Night”, “Never”, “Get Away”, “In The Stone”, dan “Shining Star”.

Tak seperti sehari sebelumnya, pada hari kedua penyelenggaraan JJF, sejumlah penyanyi Indonesia yang tampil di Ruang Cendrawasih menuai antusiasme penonton, terutama Andien dan Glenn Fredly. Kendati demikian, tetap terasa ada jarak selera antara kedua pihak, penonton dan penyanyi. Sepertinya, mereka hanya mengenal Glenn dan Andien dengan lagu-lagu yang selama ini mereka nyanyikan. Nah, ketika keduanya membawakan “sesuatu” yang lain dari biasanya, secara otomatis apresiasi tak banyak didapat, meski ruangan dijejali.(Tim “PR”)***Minggu, 06 Maret 2005

Tinggalkan komentar